Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial – Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Indonesia

Pencarian
Tutup kotak telusur ini.

Membuka Potensi Energi Terbarukan di Indonesia: Penilaian Kelayakan Proyek

Kamis 23 Juli 2020

Abstrak

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mencapai 23 persen pangsa energi terbarukan dalam bauran energi primer dan juga sektor ketenagalistrikan pada tahun 2025. Target ini kemudian diwujudkan dengan berkomitmen pada rencana untuk membangun tambahan pembangkit listrik sebesar 56.4 GW hingga tahun 2028 seperti yang dinyatakan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019–2028. Namun, penggelaran pembangkit listrik EBT tampaknya terancam karena kebijakan harga yang tidak menguntungkan yang jauh lebih rendah dibandingkan biaya pembangkitan listrik berbasis EBT, sehingga meningkatkan kemungkinan proyek-proyek EBT di masa depan menjadi tidak layak. Dengan menggunakan 242 proyek EBT yang didokumentasikan dalam RUPTL 2019–2018, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan proyek di masa depan dengan harga BPP dan mengidentifikasi faktor-faktor lain yang mungkin dapat meningkatkan kelayakan proyek. Ruang lingkup penelitian ini mencakup beberapa teknologi seperti angin, surya, hidro, mini hidro, biomassa, dan biogas. Model keuangan digunakan untuk memperkirakan Net Present Value (NPV) proyek sebagai indikator kelayakan. Data struktur biaya dan asumsi finansial proyek diperoleh melalui kajian literatur, survei, dan focus group Discussion (FGD) dengan pengembang EBT. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya kurang dari 50 persen sampel yang layak, yaitu hanya 43 persen berdasarkan jumlah proyek (103 dari 242 proyek) dan 42 persen berdasarkan kapasitas (2,452 dari 5,888 MW). Pembangkit listrik tenaga air menjadi teknologi energi terbarukan dengan kelayakan tertinggi disusul biomassa. Proyek-proyek yang berlokasi di Bangka Belitung, Gorontalo, Kalimantan Timur, Maluku, dan Sulawesi Utara semuanya layak, sedangkan proyek-proyek di pulau-pulau utama khususnya Pulau Jawa sebagian besar tidak layak karena tarif yang lebih rendah. Selain tingkat kelayakan yang rendah, terdapat beberapa komponen biaya yang dianggap sebagai biaya spesifik Indonesia seperti kandungan lokal, biaya pembebasan lahan, biaya infrastruktur transmisi, dan penyesuaian wilayah lokasi proyek yang mengakibatkan biaya proyek menjadi lebih tinggi. Terakhir, penting bagi pemerintah untuk merumuskan serangkaian kebijakan insentif untuk mengurangi proyek energi terbarukan yang tidak layak.

Unduh (PDF, 920KB)

Posting Terakhir

Laporan Khusus: Depresiasi Rupiah, Perlukah Panik?

Kamis 25 April 2024

Seri Analisis Makroekonomi: Rapat Dewan Gubernur BI, April 2024

Rabu 24 April 2024

Seri Analisis Makroekonomi: Inflasi Bulanan, April 2024

Kamis 4 April 2024

Kebutuhan Pelatihan Pekerja Migran Indonesia (Labour Market Brief, Maret 2024)

Jumat 29 Maret 2024

Posting terkait

depresiasi rupiah

Kamis 25 April 2024

Laporan Khusus: Depresiasi Rupiah, Perlukah Panik?

Rabu 24 April 2024

Seri Analisis Makroekonomi: Rapat Dewan Gubernur BI, April 2024

inflasi bulan April

Kamis 4 April 2024

Seri Analisis Makroekonomi: Inflasi Bulanan, April 2024

Terjemahkan »